Ibnu Katsir
قصص الأنبيــاء
KISAH PARA NABI
Bisikan
Iblis kepada Nabi Adam untuk Memakan Buah Terlarang
Firma Allah
Swt., “Lalu setan memperdayakan keduanya dari surga sehingga keduanya
dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga),”
yaitu dikeluarkan dari kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan, menuju negeri
penuh dengan dengan keletihan dan kesedihan karena bisikan jahat dan tipuan
setan di dalam hati Adam dan Hawa, seperti yang Allah sampaikan dalam ayat
lain, “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar
menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan (setan) berkata, ‘Rabbmu
hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi
malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’” (Al-A’râf, 7
: 20).
Setan berkata,
“Kalian berdua dilarang memakan buah ini tidak lain agar kalian berdua tidak
menjadi malaikat atau kekal selamanya di surga.” Artinya, jika kalian berdua
memakan buah itu, kalian menjadi malaikat atau kekal selamanya di surga. “Dan
dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya, aku ini benar-benar
termasuk para penasihatmu.” (Al-A’râf, 7 : 21). Seperti yang Allah
sampaikan dalam ayat lain, “Kemudian setan membisikkan (pikiran jahat)
kepadanya, dengan berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon
keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?’” (Thâhâ, 20 :
120). Yaitu, maukah aku tunjukkan padamu sebuah pohon yang jika kau makan
buahnya, kau akan kekal dalam kenikmatan yang kau rasakan, dan kau akan tetap
berada dalam kerajaan yang tiada akan pernah lenyap? Ini namanya tipu daya dan
memberitahukan sesuatu yang berselisihan dengan realita.
Maksud pohon
keabadian adalah jika kau memakan buahnya, kau kekal selamanya. Mungkin pohon
yang dimaksud adalah seperti yang disampaikan Imam Ahmad berikut; Abdurrahman
bin Mahdi bercerita kepada kami, Syu’bah bercerita kepada kami, dari Abu
Dhahhak, aku mendengan Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sungguh,
di surga ada sebuah pohon, seorang pengendara berjalan di bawah naungannya
selama seratus tahun, namun tidak juga melintasinya; pohon keabadian.’”[26]
Seperti itu juga yang diriwayatkan dari Ghundar dan Hajjaj, dari Syu’bah. Abu Dawud
Ath-Thayalisi meriwayatkan hadits ini dalam Musnad-nya dari Syu’bah, Ghundar
mengatakan, “Aku bertanya pada Syu’bah, ‘Apa iu pohon keabadian?’ ‘Apa lagi
kalau bukan pohon itu,’ jawab Syu’bah.” Hanya Imam Ahmad yang meriwayatkan
hadits ini.
Bujukan Hawa
kepada Nabi Adam untuk Memakan Buah Terlarang
Firman-Nya, “
Dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka mencicipi (buah)
pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya
dengan daun-daun surga.” (Al-A’râf, 7 : 22).
Allah juga
berfirman di dalam surah Thâhâ, “Lalu keduanya memakannya, lalu tampaklah
oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
(yang ada di) surga.” (Thâhâ, 20 : 121). Hawa lebih dulu memakan buah pohon
tersebut, dan dialah yang menyebabkan Adam memakannya. Wallâhu a’lam.
Seperti disebutkan
dalam hadits riwayat Al-Bukhari berikut; Bisyr bin Muhammad bercerita kepada
kami, Abdullah bercerita kepada kami, Ma’mar memberitakan kepada kami, dari
Himam bin Munabbih, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw., “Andai saja Bani Israil
tidak membusukkan dagin dan andai saja Hawa tidak mengkhianati suaminya
(menyebabkannya memakan buah pohon terlarang).[27]
Hanya Imam
Bukhari yang meriwayatkan hadits ini melalui jalur sanad tersebut. Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan hadits ini dalam kitab Shaḫîḫ masing-masing dari
hadits Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Himam, dari Abu Hurairah. Diriwayatkan Ahmad
dan Muslim dari Harun bin Ma’ruf, dari Abu Wahab, dari Amr bin Harits, dari Abu
Yunus, dari Abu Hurairah.
Disebutkan dalam
kitab Taurat yang beredari di kalangan Ahli Kitab, yang mendorong Hawa memakan
buah pohon adalah seekor ular yang besar dan berbentuk indah. Hawa memakan buah
pohon karena bujukan si ular, lalu memberikan buah tersebut kepada Adam. Iblis
tidak disebutkan dalam kisah ini. Saat itu kedua mata Adam dan Hawa terbelalak
dan keduanya mengetahui bahwa mereka telanjang. Kemudian keduanya mencari
dedaunan buah Tin lalu mereka gunakan sebagai sarung. Disebutkan dalam salah
satu riwayat, keduanya telanjang. Wahab bin Munabbih mengatakan, “Kemaluan
mereka berdua tertutupi cahaya.”
Penjelasan yang
tertera dalam kitab Taurat yang beredar di kalangan Ahli Kitab ini salah,
distorsif, dan keliru dalam penerjemahan, karena menerjemahkan teks dari satu
bahasa ke bahasa lain tidak mudah bagi semua orang, khususnya bagi mereka yang
tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, disamping tidak menguasai ilmu untuk
memahami kitab suci agamanya. Itulah mengapa banyak sekali kekeliruan dalam
kitab suci terjemahan di kalangan Ahli Kitab, baik dari sisi kata ataupun
makna. Al-Qur’an menunjukkan, Adam dan Hawa mengenakan pakaian. Allah Swt.
berfirman, “Dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya.” (Al-A’râf, 7 : 27).
Ibnu Abi
Hatim menyatakan, “Ali bin Hasan bin Askab bercerita kepada kami, Ali bin Ashim
bercerita kepada kami, dari Sa’id bin Abu Urubah, dari Qatadah, dari Hasan,
dari Ubai bin Ka’ab, ia menuturkan, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sungguh, Allah
menciptakan Adam, lelaki berbadan jangkung, berambut lebat, seakan-akan pohon
kurma menjulah tinggi. Saat memakan pohon, pakaiannya terlepas, dan bagian
pertama yang terlihat adalah auratnya. Saat melihat auratnya, Adam berlari di
surga, lalu sebuah pohon mengait rambutnya, Adam mencabut rambutnya, lalu
Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla memanggil, ‘Hai Adam! Apa kau melarikan diri dari-Ku?’
Saat mendengar kalam Ar-Rahman, Adam berkata, ‘Ya Rabb, (aku) tidak (melarikan
diri dari-Mu), tapi aku malu.’”[28]
Ats-Tsauri
meriwayatkan dari Abu Laila, dari Minhal bin Amr, dari Sa’id bin Jubair, dari
Ibnu Abbas terkait firman Allah Swt., “Dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun (yang ada di) surga.” (Thâhâ, 20 : 121). “Dedauanan pohon
Tin.”
Sanad hingga
Ibnu Abbas ini shahih, namun sepertinya bersumber dari Ahli Kitab. Tekstual ayat
menunjukkan lebih umum. Meski demikian, tidak masalah jika dedaunan tersebut
diartikan sebagai dedaunan pohon Tin. Wallâhu a’lam.
Al-Hafizh
Ibnu Asakir meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Ishaq, dari Hasan bin Dzakwan,
dari Hasan Al-Bashri, dari Ubai bin Ka’ab, ia menuturkan, “Rasulullah Saw.
bersabda, ‘Sungguh, ayah kalian, Adam, seperti pohon kurma yang menjulang
tinggi, (tingginya) 60 hasta, rambutnya lebat, dan auratnya selalu tertutup. Namun
ketika melakukan kesalahan di surga, auratnya terbuka, ia kemudian meraih
ubun-ubunnya, lalu Rabb menyerukan, ‘Apa kau melarikan diri dari-Ku, wahai
Adam?’ Adam menjawab, ‘Tidak, tapi aku malu pada-Mu Ya Allah, Ya Rabb, atas
perbuatan yang telah aku lakukan.’”[29]
Selanjutnya Ibnu
Asakir meriwayatkan hadits ini dari jalur Sa’id bin Abu Urubah, dari Qatadah,
dari Hasan, dari Yahya bin Dhamrah, dari Ubai bin Ka’ab, dari Nabi Saw. dengan
matan yang sama. Riwayat yang ini lebih shahih, karena Hasan tidak bertemu Ubai.
Ibnu Asakir juga meriwayatkan hadits ini dari jalur Khaitsamah bin Sulaiman
Al-Athrablusi, dari Muhammad bin Abdul Wahhab Abu Marshafah Al-Asqalani, dari
Adam bin Abu Iyas, dari Sinan, dari Qatadah, dari Anas secara marfu’[30],
dengan matan yang sama.
<== Sebelumnya
#kisabnabi #islam #muslim
[26] HR.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya (III/455), Ad-Darimi dalam Musnad-nya,
kitab: budi pekerti baik, bab: pepohonan surga.
[27] HR.
Bukhari dalam kitab Shahih-nya, kitab: Para Nabi, Bab: Penciptaan Adam
dan keturunannya, Muslim dalam Shahih-nya, Kitab: Susuan, Bab: Andai
saja bukan karena Hawa, tentu para istri tidak berkhianat kepada suami untuk
selamanya, dan Ahmad dalam kitab Musnad-nya (II/304, 315).
[28] HR.
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqât Al-Kubrâ, dan dalam sanadnya terdapat
perawi bernama Ali bin Ashim, ia adalah Alin bin Ashim bin Shuhai Al-Wasithi,
Abul hasan At-Taimi. Ya’qub bin Abu Syaibah mengatakan, “Aku mendengar Ali bin
Ashim meriwayatkan hadits, meski para sahabat kami memperdebatkan tentangnya. Sebagian
lain menilai Ali bin Ashim perawi munkar karena terlalu banyak salah. Ada juga
yang menilainya munkar karena terus-menerus melakukan kesalahan, dan enggan
merujuk penjelasan orang lain.” Baca Tahdzîbut Tahdzîb (VII/302).
[29] HR.
Hakim dalam Al-Mustadrak (II/544) dari perkataan Ubai bin Ka’ab. Hakim selanjutnya
menyatakan, “Sanad hadits ini shahih, hanya saja tidak ditakhrij Bukhari dan
Muslim.” Pernyataan Hakim ini diamini Imam Adz-Dzahabi.
[30] Marfu’
adalah hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir (perbuatan atau keadaan yang diketahui
Rasulullah dan beliau mendiamkannya atau mengirsyaratkan sesuatu yang
menunjukkan persetujuannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.

Makasih banget gan infonya,saya tidak segan mengunjungi blog anda,kunjungi balik ya
ReplyDelete