Ibnu Katsir
قصص الأنبيــاء
KISAH PARA NABI
Pohon dan
Buah Terlarang
Para
mufassir memiliki beragam pendapat terkait firman Allah, “(Tetapi) janganlah
kamu dekati pohon ini!” (Al-Baqarah, 2 : 35). Sebagian ulama berpendapat,
yang dimaksud adalah pohon anggur. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin
Jubair, Asy-Sya’bi, Ja’dah bin Hubairah, Muhammad bin Qais, As-Suddi dalam
salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan sejumlah sahabat,
“Orang-orang Yahudi mengatakan pohon yang dimaksud adalah gandum.” Ini diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Hasan Al-Bashri, Wahab bin Munabbih, Athiyah Al-Aufi, Abu
Malik, Muharib bin Ditsar, dan Abdurrahman bin Abu Laila.
Wahab
menyatakan, “Biji-bijian gandum ini lebih lembut dari keju dan lebih manis dari
madu.” Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Husain, dari Abu Malik terkait firman
Allah, “(Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini!” (Al-Baqarah, 2 : 35),
yaitu pohon kurma. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid; buah tin. Pendapat
yang sama juga disampaikan Qatadah dan Ibnu Juraij. Sementara Abu Aliyah
menyatakan, “Siapa pun yang memakan buah pohon tersebut pasti mengeluarkan
hadats, dan di surga tidak patut ada hadats.”
Perbedaan
pendapat ini intinya hampir sama. Allah sengaja tidak menyebut buah apa
persisnya. Andai ada maslahat dibalik penyebutan nama buah yang dimaksud, tentu
sudah Allah sebutkan, sama seperti hal-hal lain yang tidak disebutkan namanya
dalam Al-Qur’an.
Surga
yang Disinggahi Nabi Adam As.
Silang
pendpat yang mereka sebutkan terkait surga yang dimasuki Adam, apakah surga di
langit ataukah sebuah taman di bumi. Perbedaan pendapat seperti ini baiknya
diabaikan.
Menurut
pendapat jumhur, surga yang dimaksud adalah yang ada di langit, surga Ma’wa
berdasarkan tekstual sejumlah ayat dan hadits, seperti firman Allah, “Wahai
Adam! Tinggalah engkau dan istrimu di dalam surga.” (Al-Baqarah, 2 : 35).
Alif dan lam dalam kata الجنة bukan untuk
kata umum atau sesuatu yang diketahui dari sisi kata-kata, tapi sepenuhnya
merujuk pada sesuatu yang sudah diketahui oleh akal pikiran, juga diakui oleh
syariat, yaitu surga Ma’wa. Juga seperti kata-kata Musa As., “Kenapa kau
keluarkan kami dan juga dirimu sendiri dari surga?” dan seterusnya hingga akhir
hadits.
Muslim
meriwayatkan dalam kitab Shâḫîḫ-nya dari hadits Abu Malik
Al-Asyja’i---namanya Sa’ad bin Thariq---dari Abu Hazim Salamah bin Dinar, dari
Abu Hurairah, juga Abu Malik dari Rib’i, dari Hudzaifah,[21]
keduanya mengatakan, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Allah mengumpulkan seluruh
manusia, lalu orang-orang mukmin berdiri saat surga didekatkan kepada mereka,
mereka menemui Adam lalu berkata, ‘Wahai ayah kami, mintalah agar surga
dibukakan untuk kami.’ Adam berkata, ‘Tidaklah kalian dikeluarkan dari surga
melainkan karena kesalahan ayah kalian ini,” dan seterusnya hingga akhir
hadits.[22]
Riwayat ini
memiliki dalil yang kuat, bagus, dan nyata yang menunjukkan surga yang dimaksud
adalah surga Ma’wa, meski masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Yang lain berpendapat,
surga tempat Adam berada bukanlah surga Khuldi, karena di sana Adam masih
diperintahkan untuk tidak memakan buah pohon tersebut, disamping Adam tidur di
sana, juga dikeluarkan dari sana. Disamping itu, Iblis bisa masuk ke sana.
Surga Ma’wa tentu tidak seperti itu.
Pendapat ini
diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, Wahab bin Munabbih,
Sufyan bin Uyainah, dan dipilih oleh Ibnu Qutaibah dalam Al-Ma’arif,
Qadhi Mundzir bin Sa’id Al-Baluthi dalam tafsirnya. Mundzir juga membahas
persoalan ini dalam sebuah karya tersendiri. Pendapat ini juga diriwayatkan
dari Abu Hanifah dan para sahabatnya. Abu Abdullah Muhammad bn Umar Ar-Razi bin
Khatib Ar-Ray menukil pendapat ini dalam tafsirnya dari Abu Qasim Al-Bakhli dan
Abu Muslim Al-Ashbahani. Pendapat ini tertera dalam nash kitak Taurat yang ada
dikalangan Ahli Kitab.
Di antara
ulama yang menuturkan perbedaan pendapat terkait persoalan ini adalah Abu
Muhammad bin Hazm[23]
dalam karyanya, Al-Milal wan Ņihal, Abu Muhammad bin Athiyah dalam
tafsirnya, Abu Isa Ar-Rumani dalam tafsirnya---yang ia riwayatkan dari jumhur
golongan pertama---Abu Qasim Ar-Raghib dan Qadhi Al-Mawardi dalam tafsirnya.
Al-Mawardi menuturkan, “Diperdebatkan, apakah yang dimaksud dengan surga yang
ditempati Adam dan Hawa. Ada dua pendapat. Pertama; surga Khuldi. Kedua; surga
yang telah disediakan Allah untuk keduanya sebagai tempat ujian, bukan surga
Khuldi yang disediakan sebagai tempat pemberian balasan.”
Para pengusung
pendapat kedua juga tidak sehaluan, mereka berbeda pendapat. Ada yang
menyatakan bahwa surga tersebut berada di langit kedua, karena Adam dan Hawa
diturunkan dari tempat tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Hasan. Yang lain
menyatakan bahwa surga yang dimaksud adalah sebuah taman yang ada di bumi,
karena di tempat ini Adam dan Hawa diuji dengan larangan untuk memakan buah
dari salah satu pohon saja, yang lain tidak. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
Yahya. Ini terjadi setelah Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Wallâhu
a’lam.
Secara eksplisit,
Imam Mawardi menyebutkan tiga pendapat, dan dari uraian kata-katanya, terlihat
bahwa ia abstain dalam persoalan ini.
Abu Abdullah
Ar-Razi[24]
dalam tafsirnya menyebut empat pendapat terkait masalah ini. Tiga pendapat
seperti disebutkan Imam Mawardi di atas, dan pendapat keempat abstain. Ar-Razi
juga menyebutkan pendapat lain, surga yang dimaksud berada di langit, namun
bukan surga Ma’wa. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Ali Al-Juba’i.[25]
Iblis
Terusir dari Surga
Para
pengusung pendapat kedua melontarkan sebuah pernyataan yang perlu ditanggapi,
mereka menyatakan, “Tidak diragukan, Allah mengusir Iblis dari surga kala
enggan sujud kepada Adam. Allah memerintahkan Iblis untuk keluar dan turun dari
surga. Perintah yang dimaksud bukan perintah syar’i yang bisa saja disalahi,
tapi murni takdir yang tidak bisa disalahi dan ditolak. Itulah kenapa Allah
Swt. berfirman, “Keluarlah kamu dari sana (surga),” (Al-A’râf, 7 : 18). “Maka
turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri
di dalamnya.” (Al-A’râf, 7 : 13). “(Kalau begitu) keluarlah dari surga,
karena sesungguhnya kamu terkutuk.” (Al-Ḫijr, 15 : 34).
Kata ganti
dalam rangkaian kata منها merujuk pada
surga, langit, atau kedudukan. Mengacu pada pendapat mana pun, tetap bisa
disimpulkan bahwa Iblis tidak ditakdirkan untuk berada di tempat dimana ia
diusir dan dijauhkan dari sana, bukan sebagai tempat menetap, ataupun hanya
sekedar melintas saja.
Tanggapan
:
Bisa saja
Adam dan Iblis bersama-sama di surga namun hanya sebatas melintas saja dan
bukan menetap di sana, dan Iblis membisikkan pikiran jahat kepada Adam di dekat
pintu surga atau di bawah langit. Hanya saja ketiga pendapat ini masih perlu
didiskusikan lebih lanjut. Wallâhu a’lam.
Di antara
dalil yang menjadi pijakan pengusung pendapat ini adalah riwayat Abdullah bin
Imam Ahmad dalam Az-Ziyâdât ‘alal Musnad dari Hudbah bin Khalid, dari
Hammad bin Salamah, dari Humaid, dari Hasan Al-Bashri, dari Yahya bin Dhamrah
As-Sa’di, dari Ubai bin Ka’ab, ia menuturkan, “Saat sekarat, Adam menginginkan
setandan buah anggur surga, anak-anaknya kemudian mencarikan buah anggur
untuknya, mereka kemudian berpapasan dengan para malaikat. Para malaikat bertanya,
‘Kalian hendak kemana, anak-anak Adam?’ Mereka menjawab, ‘Ayah kami
menginginkan setandan buah anggur surga.’ Para malaikat berkata, ‘Pulanglah,
kalian sudah tidak perlu lagi mencari buah itu.’
Mereka semua
pulang, lalu para malaikat mencabut nyawa Adam, memandikan, memberi kamper dan
mengafani jenazahnya. Jibril menyalatkan jenazahnya dan para malaikat shalat di
belakangnya, setelah itu mereka menguburkan jenazah Adam. Para malaikat
selanjutnya berkata, ‘Inilah syariat kalian dalam mengurus jenazah’.” Sanad dan
matan hadits ini secara lengkap akan disampaikan pada bagian kematian Adam. انشاء لله.
Menurut para
pengusung pendapat ini, jika untuk sampai ke surga yang pernah ditempati Adam
dimana ia menginginkan sebagian buahnya dimungkinkan, tentu anak-anaknya tidak
perlu repot-repot mencari. Ini menunjukkan surga tersebut adanya di bumi, bukan
di langit. Wallâhu a’lam.
Mereka
menyatakan, “Tidak bisa diterima jika alif dan lam pada kata الجنة yang tertera dalam firman Allah Swt., “Wahai Adam!
Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga,” (Al-Baqarah, 2 : 35),
mengacu pada sesuatu yang telah diketahui oleh akal pikiran. Yang benar,
penjelasan yang Allah sampaikan mengacu pada rangkaian kalam, karena Adam
diciptakan dari unsur bumi, dan tidak ada riwayat atau nash yang menyebutkan
bahwa Adam dipindahkan ke langit. Adam diciptakan untuk berada di bumi. Iniah
yang Allah beritahukan kepada para malaikat melalui firman-Nya, “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi.” (Al-Baqarah, 2 : 30).
Ini selaras
dengan firman Allah Swt., “Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik
Mekkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka
bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari.” (Al-Qalam, 68 :
17). Alif dan lam dalam kata الجنة bukan
bersifat umum, juga tidak ada penjelasan tekstual dalam rangkaian kata
sebelumnya sehingga bisa dimengerti apa
maksudnya. Hanya mengacu pada sesuatu yang telah diketahui menurut akal pikiran
berdasarkan rangkaian kata, maksudnya الجنة dalam ayat ini artinya kebun.
Mereka
menyatakan, “Turun tidak harus menunjukkan pindah dari langit ke bumi, seperti
disebutkan dalam firman Allah Swt. berikut, “Difirmankan, ‘Wahai Nuh!
Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan
bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu.’” (Hûd, 11 : 48). Maksud ayat ini,
kala bahtera telah berada di atas gunung Judy dan air sudah surut, Nuh dan kaum
mukmin yang ikut bersamanya untuk turun. Sama seperti firman berikut, “Pergilah
ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.”
(Al-Baqarah, 2 : 61). Juga firman-Nya, “Dan ada pula yang meluncur jatuh
karena takut kepada Allah.” (Al-Baqarah, 2 : 74). Dan masih banyak contoh
lain terkait penggunaan kata seperti ini dalam hadits dan bahasa.
Mereka juga
menyatakan, “Tidak menutup kemungkinan---bahkan inilah faktanya---bahwa surga
yang ditempati Adam adalah sebuah dataran tinggi di bumi, penuh dengan
pepohonan rindang, buah-buahan, kenikmatan, dan kesenangan, seperti disebutkan
dalam firman Allah Swt., “Sungguh, ada (jaminan) untukmu di sana, engkau
tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang.” (Thâhâ, 20 : 118). Yaitu,
sisi batinmu tidak terhina karena kelaparan, dan sisi lahirmu karena telanjang.
“Dan sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa
panas matahari.” (Thâhâ, 20 : 119). Yaitu, sisi batinmu tidak tersentuh
oleh panasnya dahaga dan sisi lahirmu karena sengatan terik matahari. Untuk itu
keduanya disebut secara berdampingan, karena adanya sisi kesamaan pada
keduanya.
Mereka juga
menyatakan, “Pendapat ini bukan bagian dari pendapat yang mengingkari adanya
surga dan neraka saat ini, dan kedua pendapat ini sama sekali tidak memiliki
kolerasi satu sama lain, karena sumber pendapat ini, baik dari kalangan salaf
maupun khalaf, menegaskan surga dan neraka sudah ada saat ini, seperti
ditunjukkan oleh sejumlah ayat dan hadits-hadits shahih. Wallâhu a’lam bish
shawâb.
[21]
Hudzaifah bin Yaman Husain bin Jabir Al-‘Abasy, meninggal dunia tahun 36 H. (Asadu
Ghâbah, I/463, Tahdzîbut Tahdzîb, I/219).
[22] Shaḫîḫ
Muslim, kitab: Iman, Bab: Penghuni surga yang paling rendah kedudukannya.
[23] Abu
Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib, asli dari Persia,
meninggal dunia tahun 457, Wafayâtul A’yân, (I/340, Thabaqâtul Ḫuffâdz,
hal: 436).
[24] Abu
Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan Ar-Razi, dijuluki sebagai
Fakhrur Razi, meninggal dunia 606 H.
[25] Tafsir
Fakhrur Razi (IV/4xx).
0 Response to "Nabi Adam As. Bagian 3"
Post a Comment
Harap "Comment as Name/URL" Sertakan url Anda dalam nama untuk kunjungan balik. No active link.