بـســـــــــــم الله الرحمن اللرحيم
Qishash
al-Anbiya – Ibnu Katsir
اسلم عليكم, di postingan
ane sebelumnya kita udah mulai masuk ke Kisah Nabi Nuh
. Sekarang ane mu lanjutin kisahnya
di sini, yuuk simak shab..
اقرأ :
Nuh Adalah Rasul Pertama Bagi Penduduk Bumi
Intinya, di saat kerusakan menyebar di bumi, dan penyembahan berhala
terjadi di segala penjuru, Allah mengutus hamba dan rasul-Nya Nuh
, menyeru untuk beribadah kepada
Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan melarang menyembah apa pun selain-Nya.
Nuh adalah rasul pertama yang diutus Allah di muka bumi, seperti
disebutkan dalam kitab Shaḫîḫain dari hadits Ibnu Hibban, dari Abu
Zur’ah bin Amr bin Jarir, dari Abu Hurairah, dari Nabi
dalam hadits syafaat, Nabi
bersabda, “Mereka (ahli mauqif) datang menemui
Adam lalu mengatakan, ‘Wahai Adam, engkau ayah manusia, Allah menciptakanmu
dengan tangan-Nya, meniupkan sebagian ruh (ciptaan)-Nya padamu, memerintahkan
para malaikat sujud padamu, dan menempatkanmu di surga, tidakkah kau memberi
syafaat kepada kami (untuk menemui) Rabb-mu
?’
Adam menjawab, ‘Hari ini, Rabb-ku sangat marah, belum pernah Ia marah seperti
ini sebelumnya, dan tidak akan marah seperti ini setelahnya. Jiwaku (yang
seharusnya diberi syafaat), jiwaku (yang seharusnya diberi syafaat),.’” Abu
Hurairah meneruskan kisah hadits ini hingga tuntas secara panjang lebar,
seperti yang disebutkan Imam Bukhari dalam kisah Nuh.[4]
Saat Allah mengutus Nuh, Nuh menyeru kaumnya untuk beribadah kepada
Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, tidak menyembah berhala, patung,
ataupun thagut bersama-Nya,
mengakui keesaan-Nya, tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan sebenarnya) dan
tiada Rabb selain-Nya, sepert yang Allah perintahkan kepada para rasul seteah
Nuh yang merupakan keturunannya. Allah
berfirman, “Dan Kami jadikan anak cucunya
orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (Ash-Shâffât, 37 : 77). Allah
berfirman terkait Nuh dan Ibrahim, “Dan
Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Kitab.” (Al-Ḫadîd, 57 :
26). Artinya, seluruh nabi setelah Nuh berasal dari keturunannya. Seperti itu
juga Ibrahim.
Allah
berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah thaghut itu.’” (An-Naḫl, 16 : 36). “Dan tanyakanlah kepada
rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, ‘Adakah Kami menentukan
tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah?” (Az-Zukhruf, 43
: 45). “Dan Kami tidak mengutus
seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya
tidak ada Rabb (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.’” (Al-Anbiyâ`, 21 : 25).
Karena itulah Nuh berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku sembahla
Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya, (kalau kamu
tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar
(kiamat).” (Al-A’râf, 7 : 59). “Agar kamu tidak menyembah selain Allah.
Sesungguhnya, aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.”
(Hûd, 11 : 26). “Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”
(Al-Mu’minûn, 23 : 23). “Wahai kaumku! Sesungguhnya, aku ini seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah
kepada-Nya dan taatlah kepadaku,” sampai pada firman-Nya, “Dan sungguh,
Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian).” (Nûh, 71 :
3-14).
Disebutkan, Nuh menyeru mereka dengan berbagai macam dakwah tanpa
mengenal waktu, siang dan malam, kala sepi ataupun ramai, sesekali dengan kabar
gembira dan kadang dengan ancaman. Namun semua itu tidak membawa hasil.
Sebagian besar dari mereka justru tetap sesat, berlaku semena-mena, menyembah
patung dan berhala, memusuhi Nuh setiap saat, menghina Nuh dan para pengikut
yang beriman padanya, mengancamkan rajam dan pengusiran pada mereka, menyakiti
Nuh dan para pengikutnya secara berlebihan.
“Pemuka-pemuka kaumnya berkata,” yaitu para pemimpin dan
pembesar di antara mereka, “Sesungguhnya, kami memandang kamu benar-benar
berada dalam kesesatan yang nyata.”
“Dia (Nuh) menjawab, ‘Wahai kaumku! Aku tidak sesat; tetapi aku ini
seorang Rasul dari Rabb seluruh alam’.”, yaitu aku tidak seperti yang kalian
katakan bahwa aku berada dalam kesesatan. Sebaliknya, aku berada di atas
petunjuk yang rasul, dan aku adalah seorang rasul dari Rabb seluruh alam yang
mengatakan kepada sesuatu, “Jadila!” maka jadilah dia. “Aku menyampaikan
kepadamu amanat Tuhanku, memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari
Allah apa yang tidak kamu ketahui.” Seperti itulah seorang Rasul yang harus
fasih, tiada jemu menyampaikan nasihat, dan paling mengenal Allah
.
Mereka berkata kepada Nuh, “Kami tidak melihat engkau, melainkan
hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang
yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas
percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami,
bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.” (Hûd, 11 : 27).
Mereka merasa aneh jika ada Rasul dari golongan manusia, mencela para
pengikutnya yang dalam pandangan mereka adalah orang-orang hina. Ada yang
mengatakan, mereka adalah orang-orang lemah akal dan golongan lemah, seperti
dikatakan Heraklius, “Mereka (orang-orang lemah) adalah pengikut para rasul.
Itu karena tidak ada halangan apa pun bagi mereka untuk mengikuti kebenaran.”
“Yang lekas percaya,” yaitu dengan sekedar diajak, mereka langsung
menerima seruanmu tanpa berpikir panjang. Tuduhan yang mereka sampaikan ini
justru inti yang membuat para pengikut rasul mendapat pujian baik, karena
kebenaran tentu telah jelas, tidak perlu dipikirkan terlalu panjang, wajib
diikuti dan harus tunduk padanya saat kebenaran terlihat.
Karena itulah Rasulullah
bersabda kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Setiap
kali aku menyeru seorang pun menuju Islam, ia pasti ragu, kecuali Abu Bakar, ia
tidak berpikir panjang (untuk masuk Islam).” Karena itu, pembaiatan terhadap
dirinya di Saqifah Bani Sa’idah juga berlangsung dengan cepat, tanpa ada yang
berpikir panjang, karena Abu Bakar di mata para sahabat adaah yang terbaik di
antara yang lain. Untuk itu, saat Rasulullah
bermaksud untuk menulis wasiat berisi penunjukan
Abu Bakar sebagai khalifah, namun niat itu beliau urungkan kembali, beliau
mengatakan, “Allah dan orang-orang mukmin enggan (memilih khalifah) selain Abu
Bakar.”[5]
Kata-kata kaum Nuh yang kafir terhadap para pengikutnya yang beriman, “Kami
tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami,” yatu tak
ada hal istimewa apa pun yang terlihat setelah kalian beriman melebihi
keistimewaan yang kami miliki, “Bahkan kami menganggap kamu adalah orang
pendusta. Dia (Nuh) berkata, ‘Wahai kaumku! Apa pendapatmu jika aku mempunyai
bukti yang nyata dari Tuhanku, dan aku diberi rahmat dari sisi-Nya, sedangkan
(rahmat itu) disamarkan bagimu. Apa kami akan memaksa kamu untuk menerimanya,
padahal kamu tidak menyukainya?’”
Nuh menyampaikan kata-kata tersebut kepada mereka dengan lemah lembut
kala menyeru mereka menuju kebenaran, seperti yang Allah sampaikan di tempat
berbeda, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thâhâ, 20 : 44). Dan
firman-Nya, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Naḫl,
16 :125). Cara dakwah yang disampaikan Nuh di atas termasuk bagian dari yang
Allah sampaikan ini.
Nuh berkata kepada mereka, “Wahai kaumku! Apa pendapatmu jika aku
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan aku diberi rahmat dari sisi-Nya,”
yaitu kenabian dan risalah,”Sedangkan (rahmat itu) disamarkan bagimu,”
yaitu tidak kalian pahami dan kalian tidak mendapat petunjuk ke sana, “Apa
kami akan memaksa kamu untuk menerimanya,” yaitu apakah kami harus memaksa
kalian untuk menerimanya, “Padahal kamu tidak menyukainya?” yaitu aku
tidak punya cara ataupun kuasa untuk itu karena kalian tidak menyukainya. “Dan
wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas
seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah,” yaitu aku tidak menginginkan
imbalan atas seruan yang aku sampaikan kepada kalian, seruan yang membawa guna
bagi kalian di dunia dan akhirat, aku hanya menginginkan pahala dari Allah,
pahala-Nya lebih baik bagiku dan lebih kekal dari imbalan yang kalian berikan
padaku.
Firman-Nya melalui lisan Nuh, “Dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang yang telah beriman. Sungguh, mereka akan bertemu dengan Tuhannya,
dan sebaliknya aku memandangmu sebagai kaum yang bodoh,” mereka sepertinya
meminta Nuh untuk mengusir para pengikutnya dan berjanji akan bertemu dengannya
jika Nuh mau melakukan itu. Namun Nuh enggan memenuhi permintaan itu dan
berkata, “Sungguh, mereka akan bertemu dengan Tuhannya,” karena itu aku
takut mengusir mereka. Tidakkah kalian mau mengambil pelajaran?
Untuk itu, saat orang-orang kafir Quraisy meminta Rasulullah
untuk mengusir orang-orang mukmin lemah dari
dekat beliau, seperti Ammar,[6]
Shuhaib,[7]
Bilal,[8]
Khabbab[9]
dan lainnya, Allah melarang beliau melakukan hal itu.
Balasan baik akan diterima jika yang ada dalam diri mereka baik, dan
balasan buruk akan diterima jika yang ada dalam diri mereka buruk, seperti yang
mereka katakan di sejumlah ayat lainnya, “Apakah kami harus beriman
kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?’ Dia (Nuh)
menjawab, ‘Tidak ada pengetahuanku tentang apa yang mereka kerjakan.
Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, jika
kamu menyadari. Dan aku tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini)
hanyalah pemberi peringatan yang jelas.’” (Asy-Syu’arâ`, 26 : 111-115).
[4] Shaḫîḫ
Bukhari, Kitab: Para nabi, Bab Firman Allah , “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya.” (Hûd, 11 : 25).
[5] HR.
Muslim dalam kitab Shahih-nya, Kitab: Keutamaan-keutamaan, Bab: Di
antara keutamaan Abu Bakar, Ahmad dalam Musnad-nya (IV/322).
[6] Ammar
bin Yasir bin Amir bin Malik Abu Yaqazhan, seorang sahabat, meninggal dunia
tahun 37 H. (Tahdzibut Tahdzîb, VII/409, Asadul Ghâbah,
IV/129).
[7] Shuhaib
bin Sinan bin Malik bin Abu Dawud, meninggal dunia tahun 38 H. (Asadul
Ghâbah, III/36).
[8] Bilal
bin Rabbah, dipanggil dengan kuniah Abu Abdul Karim, meninggal dunia
tahun 20 H. (Asadul Ghâbah, I/243).
[9] Khabbab
bin Art bin Jandalah bin Jandalah bin Sa’ad At-Tamimi, seorang sahabat,
meninggal dunia tahun 37 H. (Asadul Ghâbah, II/114, Tahdzibut Tahdzîb,
III/133).

wih mantap bagus sekali info yang di sajikan
ReplyDeleteditunggu update nya
salam blogger